POLITIK - Bayangkan sebuah panggung besar bernama Indonesia, di mana para aktor politiknya bermain dalam drama yang penuh intrik dan kepentingan. Tapi tunggu dulu, apa yang sebenarnya menjadi penentu keberhasilan aktor-aktor ini untuk mendapatkan peran utama? Bukan visi, misi, atau kemampuan mereka berakting demi rakyat. Jawabannya sering kali ada di satu kata sederhana, uang.
Kapitalisme, sistem ekonomi yang konon menjadi "mesin kemajuan, " ternyata telah masuk terlalu dalam ke dalam politik Indonesia. Seorang politisi yang ingin menjadi calon pimpinan partai? Uangnya harus tebal. Ingin mencalonkan diri jadi presiden? Siapkan dana kampanye triliunan. Mau duduk di kursi legislatif, kepala daerah, atau bahkan kepala desa? Lagi-lagi, uang berbicara lebih lantang daripada niat tulus untuk mengabdi.
Politik uang, atau istilah kerennya money politics, adalah rahasia umum yang tidak lagi menjadi rahasia. Saat pemilu tiba, kartu-kartu kecil berisi pecahan seratus ribu hingga dua ratus ribu mulai berseliweran dari satu tangan ke tangan lainnya. Bukan untuk membeli barang, tetapi untuk membeli suara. Ironisnya, masyarakat yang menjadi korban politik uang sering kali merasa diuntungkan, meskipun dalam jangka panjang, mereka yang paling dirugikan.
Lihat saja bansos politik, yang sering dikemas seolah-olah sebagai "bantuan tulus" untuk rakyat. Padahal, ada agenda besar di balik setiap karung beras dan paket minyak goreng yang dibagikan. Sebuah investasi politik, di mana calon kepala daerah atau bahkan calon presiden berharap "sedikit pemberian" itu akan menuai suara dalam jumlah besar. Bansos berubah menjadi alat kampanye terselubung, sementara rakyat kecil hanya menjadi pion dalam permainan besar ini.
Begitu dalamnya kapitalisme mencengkeram Indonesia hingga terasa seperti deja vu zaman penjajahan. Jika dulu penjajah seperti Belanda menggunakan kekuatan modal untuk mengeksploitasi kekayaan negeri ini, kini kapitalisme modern datang dalam wajah lokal. Para "penguasa baru" menggunakan uang untuk membeli suara, kekuasaan, dan bahkan hukum.
Apa bedanya dengan zaman penjajahan dulu? Pada masa itu, komoditas utama adalah rempah-rempah, emas, dan tanah. Hari ini, komoditasnya adalah suara rakyat, yang bisa diperdagangkan dalam bursa politik. Hanya satu hal yang tidak berubah: segalanya bisa dibeli, selama ada uang.
Namun, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi? Kapitalisme memang sulit dilawan, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Masyarakat harus sadar bahwa politik uang tidak pernah menguntungkan mereka dalam jangka panjang. Pemimpin yang lahir dari praktik ini akan lebih sibuk mengembalikan modal daripada mengurus rakyat. Sebuah lingkaran setan yang harus diputus, jika kita ingin melihat Indonesia yang benar-benar merdeka—bukan hanya secara fisik, tetapi juga dari belenggu kapitalisme politik.
Indonesia merdeka, tetapi benarkah sudah bebas? Atau, kita hanya berpindah tangan dari penjajah asing ke penjajah modal?
Baca juga:
Tony Rosyid: SBY Bukan 'Bapak Plin Plan'
|
Jakarta, 16 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi