POLITIK - Sejarah mencatat bahwa Nusantara pernah memiliki dua kerajaan besar yang berkuasa selama berabad-abad, yaitu Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13) dan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-16). Keduanya memiliki pengaruh besar, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun kebudayaan, bahkan melampaui wilayah Indonesia saat ini.
Namun, kedua kerajaan ini akhirnya runtuh dan lenyap dari peta dunia. Salah satu faktor utama yang sering disebut sebagai penyebab kehancuran mereka adalah kepemimpinan yang semakin tidak kompeten di era akhir kejayaannya.
Sriwijaya: Dari Kejayaan Maritim hingga Kejatuhan
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara yang mengendalikan jalur perdagangan utama, termasuk Selat Malaka. Dengan armada laut yang kuat dan pusat pembelajaran agama Buddha yang termasyhur, Sriwijaya menikmati kejayaan selama beberapa abad.
Namun, di akhir kejayaannya, Sriwijaya menghadapi kelemahan internal. Kepemimpinan yang lemah membuat kerajaan ini tidak mampu mempertahankan supremasi maritimnya. Banyak penguasa Sriwijaya lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan di dalam kerajaan daripada memperkuat pertahanan dari serangan luar.
Pada tahun 1025, Sriwijaya diserang oleh Kerajaan Chola dari India Selatan, yang berhasil menjarah ibu kotanya. Meskipun Sriwijaya masih bertahan beberapa abad setelahnya, serangan ini melemahkan kerajaan secara signifikan.
Pada akhirnya, kerajaan ini jatuh sepenuhnya ke tangan Majapahit dan kerajaan-kerajaan kecil di Sumatra. Jika para pemimpin Sriwijaya saat itu lebih tanggap terhadap ancaman luar dan membangun strategi pertahanan yang lebih kuat, bukan tidak mungkin kerajaan ini bisa bertahan lebih lama.
Baca juga:
Tony Rosyid: Jangan Ada Revolusi Lagi
|
Majapahit: Hancur oleh Konflik Internal dan Kepemimpinan Lemah
Majapahit adalah kerajaan agraris dan maritim yang mampu mengendalikan hampir seluruh Nusantara serta sebagian Asia Tenggara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak kejayaan dengan Sumpah Palapa sebagai landasan ekspansinya.
Namun, setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit mengalami kemunduran besar. Penyebab utamanya adalah perpecahan internal akibat perebutan takhta. Para raja yang memerintah setelahnya tidak memiliki visi yang sama kuat seperti para pendahulunya.
Peristiwa Perang Paregreg (1405–1406) antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana semakin melemahkan stabilitas Majapahit. Konflik ini menyebabkan kehancuran ekonomi dan militer kerajaan.
Di sisi lain, munculnya Kesultanan Malaka di abad ke-15 sebagai kekuatan baru dalam perdagangan maritim menggantikan peran Majapahit di jalur perdagangan internasional. Pemimpin Majapahit gagal beradaptasi dengan perubahan zaman, di mana Islam mulai berkembang dan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Malaka mengambil alih hegemoni di kawasan. Akibatnya, Majapahit semakin kehilangan pengaruh hingga akhirnya runtuh sepenuhnya pada akhir abad ke-16.
Kepemimpinan yang Tidak Kompeten: Faktor Utama Kejatuhan?
Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa pola yang tampak dalam kejatuhan Sriwijaya dan Majapahit akibat kepemimpinan yang kurang kompeten:
1. Tidak Mampu Menjaga Stabilitas Politik: Sriwijaya menghadapi persaingan internal dan konflik dinasti, begitu juga dengan Majapahit yang terpecah oleh Perang Paregreg.
2. Kurangnya Adaptasi terhadap Perubahan Zaman: Sriwijaya tidak memperkuat pertahanannya ketika serangan Chola datang.
Majapahit gagal menyesuaikan diri dengan pergeseran kekuatan ke kerajaan-kerajaan Islam yang mulai menguasai perdagangan.
3. Mengabaikan Pertahanan dan Ekonomi: Pemimpin Majapahit dan Sriwijaya lebih fokus pada persaingan internal daripada membangun aliansi yang kuat dan mempertahankan supremasi ekonomi mereka.
4. Tidak Ada Regenerasi Kepemimpinan yang Kuat: Setelah tokoh-tokoh besar seperti Gajah Mada dan Hayam Wuruk tiada, penguasa-penguasa berikutnya tidak memiliki visi yang jelas dalam mempertahankan kejayaan Majapahit.
Kesimpulan: Sejarah yang Terulang?
Keberadaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai kekuatan besar di Nusantara akhirnya sirna karena kegagalan pemimpin-pemimpinnya dalam menjaga stabilitas, beradaptasi dengan perubahan, dan mempertahankan kejayaan mereka.
Kisah ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemimpin-pemimpin masa kini bahwa kejayaan sebuah negara atau kerajaan tidak hanya bergantung pada kejayaan masa lalu, tetapi juga pada kemampuan pemimpin dalam merespons tantangan dan perubahan zaman. Jika tidak, seperti Sriwijaya dan Majapahit, sebuah negara atau pemerintahan yang kuat pun bisa lenyap dari peta dunia.
Jakarta, 12 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi