Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan dua putusan penting terkait pelaksanaan Pilkada 2024, dengan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024. Kedua putusan ini memiliki dampak signifikan terhadap proses pencalonan kepala daerah di Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meskipun tidak memiliki perwakilan di DPRD. Selain itu, MK juga menetapkan bahwa syarat usia bagi calon gubernur (cagub) harus 30 tahun pada saat penetapan calon, bukan saat pelantikan.
Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK), MK memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, dengan putusan yang bersifat final dan mengikat. Wewenang ini mencakup:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945);
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Baca juga:
100 Anak Muda Bawa Ide
|
Sifat final dan mengikat dari putusan MK menandakan bahwa putusan tersebut langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak saat diucapkan. Tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk menentang atau mengubah putusan tersebut. Putusan MK bersifat mengikat, tidak hanya untuk para pihak yang berperkara, tetapi juga untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini juga mempengaruhi dinamika politik di Indonesia. Pertama, putusan MK yang menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dapat mendorong terjadinya amendemen atau perubahan terhadap undang-undang tersebut, atau bahkan pembuatan undang-undang baru. Kedua, putusan MK terkait hasil pemilihan umum dapat memicu proses politik yang intens, terutama jika keputusan tersebut mengubah hasil yang telah diumumkan sebelumnya. Ketiga, putusan MK yang menyatakan bahwa seorang presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat berdasarkan pelanggaran hukum seperti korupsi, penyuapan, atau tindakan tercela lainnya, dapat memicu krisis politik yang signifikan.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan terkait Pilkada, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama dengan pemerintah telah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (RUU Pilkada) pada rapat paripurna DPR terdekat. Keputusan ini diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Delapan fraksi di Baleg DPR RI, termasuk Fraksi Partai Gerindra, Demokrat, Golkar, PKS, NasDem, PAN, PKB, dan PPP, telah menyatakan setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU ini. Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk disahkan.
Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, juga telah menyatakan persetujuan untuk melanjutkan RUU Pilkada ke tahap paripurna. Dalam Rapat Panja, terdapat dua isu krusial yang menjadi fokus pembahasan dalam RUU Pilkada. Pertama, terkait penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada mengenai syarat usia pencalonan, yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung. Pasal 7 ayat (2) huruf e disepakati bahwa usia minimal bagi calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah 30 tahun, sementara untuk calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, dan calon wakil wali kota adalah 25 tahun, dihitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Namun, MK dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 telah menegaskan bahwa penghitungan usia calon kepala daerah harus dilakukan sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pelantikan.
Kedua, perubahan Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah juga menjadi perhatian. Meski beberapa aspek putusan MK telah diakomodasi, masih terdapat perbedaan dalam penerapan ambang batas pencalonan tersebut, yang hanya mengakomodasi sebagian putusan MK. Perdebatan ini menunjukkan bagaimana proses legislasi masih terus berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan politik yang dinamis di Indonesia.
Tindakan DPR yang tidak sepenuhnya mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan justru mengambil langkah politik lain merupakan bentuk nyata pembangkangan terhadap konstitusi yang seharusnya dijunjung tinggi. Pembangkangan ini mencerminkan keberanian yang muncul akibat dominasi koalisi partai politik yang menguasai mayoritas kursi, sementara partai oposisi berada dalam posisi yang sangat lemah dan terpinggirkan. Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang memungkinkan DPR untuk melangkahi putusan MK yang bersifat final dan mengikat, serta memanipulasi proses legislasi sesuai dengan kepentingan politik tertentu, yang pada akhirnya mengancam integritas sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.