OPINI - Seperti tulisanku beberapa hari lalu, jika dipaksa satu putaran, maka nasib negara ini boleh jadi akan cukup menghawatirkan. Saat ini, istana tidak cukup kuat setelah meninggalkan PDIP. Hanya PDIP dengan BIN beserta jaringan solidaritasnya di Polri selama ini yang menjadi back bone utama bagi istana. Di luar itu, back up istana boleh dibilang rapuh karena tidak memiliki konsolidasi emosional.
Lingkaran istana dan projo tidak cukup kuat untuk melawan gelombong massa yang semakin membesar jika hasil pemilu hari ini diwarnai berbagai kecurangan. TNI akan bersikap lebih rasional dan realistis ketika menghadapi jumlah massa yang besar.
Baca juga:
Tony Rosyid: SBY Bukan 'Bapak Plin Plan'
|
Di sisi lain, kekuatan Polri sudah terpecah. Dalam konteks pilpres, tidak semua loyal ke kapolri dan istana. Ada Polri Struktural (punya jabatan), ada non struktural (tidak punya jabatan). Non struktural dan sebagian yang punya jabatan terkoneksi dengan PDIP melalui BIN. Mereka adalah orang-orang yang dulu dibesarkan oleh Budi Gunawan, kepala BIN dan PDIP.
Kekuatan lain dari pendukung istana adalah ormas pemuda NU. Ormas pemuda NU ini sekarang cenderung silent setelah gerbong PKB dibawa Cak Imin ke Anies Baswedan. Isu politik agama yang selama ini memicu ormas pemuda ini bergerak sudah mulai samar dan tidak terdengar. Tidak ada lagi narasi yang kuat bagi ormas pemuda NU ini untuk mengkonsolidasikan gerakan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Jangan Ada Revolusi Lagi
|
NU seperti juga Polri, tidak semuanya mendukung istana. Bahkan kekuatan besarnya yaitu pesantren-pesantren besar seperti Lirboyo, Ploso, Sarang, Sidogiri, Jombang, Lasem dan Kempek Cirebon, mayoritas mendukung Muhaimin Iskandar. Pesantren-pesantren lainnya, juga pemuda NU yang selama ini berafiliasi ke istana cenderung diam. Mereka tidak mungkin mau berbenturan dengan pesantren-pesantren dan ulama-ulama besar NU. Di NU, tradisi santri itu sami'na wa atha'na terhadap Kiai. Pemuda NU adalah mereka yang umumnya santri. Mereka pernah nyantri kepada para kiai di pesantren.
Intinya, istana melemah karena ditinggal dan meninggalkan kekuatan-kekuatan yang selama ini menjadi pendukung utamanya. Di politik ada PDIP. Di organisasi massa, ada pesantren dan pemuda NU. Di tengah melemahnya kubu istana inilah, gerakan perlawanan rakyat mulai tumbuh dan membesar.
Gelombang perlawanan ini akan reda jika istana berhasil memanggil kembali kekuatan-kekuatan pendukungnya yaitu PDIP dan pesantren-pesantren besar NU itu. Dengan sendirinya para pemuda NU akan ikut bergerak menjadi basis massa yang ikut mengamankan istana. Bagi NU dan para santri, istana adalah simbul negara. Tapi jika marwah istana tidak dijaga, itu persoalan tersendiri.
Jokowi sudah berulangkali berupaya mendekat kembali ke PDIP. Minta bertemu dengan Megawati, ketum PDIP. Terakhir, melalui Hamengkubuwono X. Tapi, nampaknya tidak berhasil. Rakyat bisa mengerti jika Megawati sangat kecewa terhadap Jokowi dan keluarganya. Karena PDIP-lah yang selama ini membesarkan Jokowi dan keluarga (anak-menantu).
Bagi pendukung Jokowi, mereka justru menganggap bahwa PDIP-lah yang dibesarkan dan dapat coat-tail effect dari Jokowi. Dua kali PDIP menjadi pemenang pemilu karena efek Jokowi nyapres. Tanpa Jokowi, sulit dibayangkan PDIP bisa menjadi pemenang pemilu 2014 dan 2019.
Saat ini, situasinya semakin tidak mudah. Terutama setelah Kaesang menjadi ketua PSI, partai yang dianggap rival PDIP. Begitu juga dengan Gibran yang menjadi lawan Ganjar, calon dari PDIP di pilpres 2024. Cawe-cawe presiden di pilpres juga semakin membuat sulit hubungan Jokowi-Megawati.
Di sisi lain, Gibran di dalam debat cawapres terakhir dianggap kurang sopan kepada Mahfud dan Cak Imin, dua tokoh NU. Ini telah menjadi catatan penting bagi para ulama NU dan para santri. Sikap Gibran dianggap tidak etis, tidak elok, dan cenderung merendahkan kedua tokoh NU itu.
Di saat istana melemah, isu politik dinasti dan cawe-cawe presiden telah memicu gerakan kampus. Gerakan non-partisan ini terbuka kemungkinannya untuk bertemu dengan gerakan partisan yaitu pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud dalam isu yang sama, yaitu pemakzulan Jokowi.
Isu pemakzulan Jokowi sudah lama. Tapi, sangat lemah karena hanya disuarakan oleh kampus dan mereka tidak kompak. Saat ini, kampus sudah mulai kompak di saat mayoritas kekuatan partai di parlemen sedang kecewa dan marah jika pemilu diwarnai dengan kecurangan.
PDIP, Nasdem, PKB, PKS dan mungkin juga PPP akan bersatu untuk mengakomodir gerakan rakyat jika mereka tidak puas dengan hasil pemilu rabu, 14 pebruari 2024. Hari ini.
Hasil pemilu hari ini akan menjadi penentu bagaimana nasib sejarah bangsa ini kedepan. Jika luber dan jurdil, maka negara akan aman. Istana tetap kokoh. Jika pemilu diwarnai kecurangan, protes massa akan sangat berpotensi menjadi ledakan sosial dan politik.
Jakarta, 14 Pebruari 2024
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa